Sakitku bukan fisik semata, tapi hatiku juga hancur lebur saat suami
memaksaku melayani teman-temannya sebagai pelunas hutang-hutang judinya.
Dion (35) adalah suami yang menikahiku karena perjodohan. Orangtua Dion
adalah sahabat orang tuaku. Pernikahan itu sendiri memang berlangsung
mewah untuk seukuran desaku. Orangtua Dion adalah petani tembakau. Dion
anak kedua dari tiga bersaudara. Dion bersekolah di kota Semarang sejak
kecil hingga lulus SMU.
Ratih Bulandari (28) namaku, Sejak kecil hingga tamat SMU aku bermukim
di Salatiga. Orangtuaku nyaris tak pernah mengajakku bepergian, bahkan
kota Semarang dan Yogyakarta kuketahui lewat wisata sekolah. Di desa,
aku digunjingkan sebagai perawan tua karena hingga usia 27 tahun aku
belum juga mendapat jodoh.
“Ratih, umurmu sudah tua, kok belum dapat jodoh juga. Kamu akan bapak
jodohkan sama anak teman Bapak ya,” kata Bapakku suatu kali. “Inggih
Pak, kulo nderek mawon,” jawabku menyetujui usulan Bapak.
Dua bulan kemudian undangan pernikahanku sudah beredar, namun tak
sekalipun aku bertemu Dion, paling hanya lewat foto yang dibawa oleh
Bapakku. “Dion belum bisa cuti kerja, nanti saja cutinya diambil
sekalian hari pernikahan,” alasan Bapakku saat kutanya kenapa Dion tak
bertandang ke rumah kami. Kan aku ingin berkenalan dengan calon suamiku.
Pernikahan kami berjalan lancar, tetamu banyak berdatangan membawa kado
bermacam-macam, hampir sebagian besar alat rumah tangga. Kami juga
menanggap wayang kulit, pertunjukan kesenian Jawa Tengah yang didalangi
oleh Ki Bondo ahli pewayangan di desa kami. Pokoknya pernikahan kami
meriah dan berkelas untuk ukuran desa kami.
Malam usai pernikahan, Dion tak menyentuhku. “Aku lelah, ngantuk. Aku
meh turu,” tegasnya langsung tertidur. Aku hanya diam dan malu karena
harus berbagi ranjang dengan pria yang baru kukenal tadi pagi saat akad
nikah. Dalam diam kupandangi wajah Dion, berwajah persegi empat, dengan
rahang tegas, rambut sedikit berombak. Dengkuran kecil mengiringi tidur
lelapnya.
Hanya tiga hari Dion di rumah, kemudian diajaknya aku ke kota Semarang
menuju kediamannya. Dion kontrak disebuah rumah kecil tanpa halaman dan
mempunyai satu kamar tidur, satu ruang tamu, dapur sekaligus ruang makan
dan satu kamar mandi. Cukuplah rumah itu bagi kami berdua. Sejak
menikah praktis aku di rumah saja, Dion berangkat kerja pagi dan pulang
pukul tujuh malam. Dion mengaku bekerja di perusahaan garmen, entah
bagian apa.
Baru dua bulan pernikahan, Dion di PHK karena order garmen perusahaannya
tempat bekerja mengalami kesulitan. Banyak pesanan yang datang dari
Amerika dibatalkan, alasannya Amerika sedang dilanda krisis keuangan.
Hal tersebut berdampak pada perusahaan tempat Dion bekerja. Dion
bersikukuh tak mau pulang ke Desa.
“Kita harus ke Jakarta, mengadu nasib di sana. Kita akan tinggal di
rumah teman-teman saya. Pokoknya kamu diam dan ikut saya,” tegas Dion
meyakinkanku. Yang namanya istri ya nurut suami, apalagi aku tak
bekerja, jadi tak ada alasan untuk menolaknya.
Di Jakarta kami tinggal di bilangan Tanjung Priok, menumpang di sebuah
rumah kontrakan milik Eko, teman Dion. Di rumah tersebut hanya Dion yang
membawa istri, yang lain lajang.
Yang tadinya Dion perhatian dan terlihat mencintaiku kini mulai berubah.
Apalagi sejak tiap malam Dion bermain kartu dengan teman-temannya. Jika
kuingatkan untuk tak berlama-lama bermain kartu, Dion malah marah.
“Tih, seharian aku berjalan kaki putar-putar cari lowongan kerja, tak
satupun diterima. Aku hanya menghilangkan lelah dengan bermain kartu,”
urainya. Aku terdiam dan rebahan di kamar menunggu Dion.
Hingga suatu hari Dion mendadak masuk kamar dan mendekapku erat sambil berbisik “sayang, tolonglah suamimu ini. Aku kalah main kartu. Aku berusaha untuk mengalahkan Eko namun makin hari kekalahanku makin besar hingga lima juta. Jika tak kubayar kita akan diusirnya dari rumah ini, tolonglah aku Tih….”
“Bagaimana bisa mas? Uang kita hanya tinggal tiga setengah juta, dan k
upayakan untuk makan seirit mungkin agar mencukupi kebutuhan makan kita,
Mas Dion kan belum dapat kerja. Bagaimana mungkin kita membayarnya,
dengan apa mas?” mulai terisak sekaligus kebingungan menerpaku.
Ratih sayangku, kali ini mas benar-benar meminta tolong padamu, biarkan
Eko tidur denganmu malam ini hingga besok pagi. Utang tersebut akan
lunas,” papar Dion. Aku tak mampu berkata-kata. Aku menangis lirih, tapi
hanya inilah yang dapat membantu suamiku dari masalahnya. Aku
mengangguk pelan menyetujui permintaannya.
Malam itu, Eko masuk kamar, dan berdiam diri di sebelahku. “Bukan
seperti ini Tih, bukan permintaanku Tih, tapi suamimu yang mengusulkan
sebagai pelunas hutangnya. Aku tak bisa membiarkanmu terlibat dalam
hutang suamimu, Ratih,” parau suara Eko.
“Aku menyetujuinya kok Mas Eko, tapi besok pagi seluruh hutang mas Dion
lunas ya,” bisikku tak kalah parau. Entah siapa yang memulai, kami
berpagutan dan saling menindih, berguling tanpa suara. Jujur saja, malam
itu aku mendapat kenikmatan luar biasa yang diberikan oleh Mas Eko.
Dengan tangannya, dengan lidahnya, Mas Eko memuaskanku. Subuh aku
terbangun dan memintanya lagi dan Mas Eko memberiku kepuasan tak
berkesudahan.
“Mas Dion, aku tak mau membahasnya. Aku sudah berkorban melunasi
hutangmu, jangan bertanya-tanya lagi tentang tadi malam,” hardikku kesal
kepada Mas Dion saat dia menanyakan perihal yang kukerjakan tadi malam
bersama Mas Eko.
Ternyata, pembayaran hutang tersebut tak berhenti hingga disitu.
Kawan-kawan Mas Dion yang lain membujuk suamiku agar aku melayani
hasratnya dengan bayaran satu juta semalam. Mas Dion setuju karena
hingga berbulan ini dia belum mendapat pekerjaan. Kami terjepit masalah
ekonomi namun dengan cara ini kesulitan keuangan kami dapat teratasi
sementara.
Maka hampir setiap malam aku melayani teman-teman Mas Dion yang kos di
rumah kontrakan Mas Eko, aku menikmati belaian setiap pria tersebut. Aku
menikmati cumbuan panas itu. Aku belajar bercinta dengan selusin pria.
Dan tiap malam pria-pria tersebut meniduriku minimal dua kali. Aku
mendapatkan uang yang cukup hingga mampu untuk pergi mencari kontrakan
rumah sendiri.
0 comments:
Post a Comment